Berita Terkini

Berita Teknologi

Hiburan

Saturday, November 28, 2009

UTS W&R

Nama : Dian Cito Tantri
NPM : 10080007065


Harta terbesarku di Padang Pariaman


Sore itu, seperti biasa aku duduk menyaksikan acara televisi bersama adik perempuanku. Setelah penat seharian melakukan aktivitas yang sama tiap harinya. Tiba-tiba sesaat bumi terasa bergoyang, goyangan yang agak biasa kami rasakan di daerah kami. Adikku panik berlari ke arah dapur memanggil ibuku yang berada di lantai dua rumah kami. Aku sama sekali tak beranjak dari tempatku menonton tv karena getaran ini sudah biasa kurasakan. Lama kelamaan aku mulai merasakan ini lain dari biasanya dan kemudian mengajak adik dan ibuku untuk keluar rumah.




Ibu dan adikku bergegas turun. Tedengar langkah kaki mereka yang bergemuruh, terasa ketakutan yang mencekam saat itu. Aku berlari ke arah luar, yakin adik dan ibuku tak jauh dibalakangku. Hanya saja tak lama aku mendengar suara gemuruh yang besar. Tak sempat aku membayangkan apa yang terjadi di belakangku, aku mendengarkan suara ibu berteriak. Kejadiannya begitu cepat dan jelas di pelupuk mataku dan adikku. Ibu tertimpa pilar rumah kami, aku dan adikku mencoba menolong ibu tapi kami tak kuasa.


Entah berapa lama persisnya getaran yang meluluh lantakkan kota ini berlangsung, yang kuketahui getaran dahsyat itu membuat rumah kami hancur, rata dengan tanah. Aku dan adikku harap-harap cemas. Berharap keajaiban dekat dengan kami. Berharap ibu masih bertahan di dalam sana untuk menyaksikan pertumbuhan kami, hingga kami mampu untuk tidak mengandalkan ibu dalam keseharian kami. Berharap apa yang terjadi pada ayah saat tragedi Aceh tidak menimpa ibuku.


Aku dan adikku tak dapat berbuat apa-apa lagi. Karena reruntuhan rumah tak dapat kami angkat sendiri untuk melihat keadaan ibu. Kami menunggu kedatangan tim evakuasi. Hingga keesokan harinya, tim evakuasi pun datang dan mengevakuasi tubuh ibu yang sudah terbujur kaku. Aku tak kuasa untuk berkata-kata lagi. Adikku berlari memeluk tubuh ibu yang terbujur kaku. Sementara tubuh ini terasa lemas tak lagi mampu berdiri, aku terjatuh. Tubuhku lunglai melihat tubuh ibu yang terbujur kaku dan mendengar derai tangis adikku yang masih belia.


Mau tak mau aku harus bangkit, menguatkan satu-satunya sisa harta yang ku punya, adikku. Aku menariknya perlahan dan menjelaskan bahwa aku dan adikku harus kuat untuk menjalani hidup kami lagi. Aku memberinya segelas air agar adikku bisa kembali tenang.


Sementara ini, aku, adikku, dan juga warga disekitar rumah tinggal di tenda-tenda pengungsian. Untuk sementara waktu, aliran listrik pun tidak menerangi kota Padang. Tapi bagiku dan adikku ini sama saja. Hati kami gelap dirundung kesedihan. Untuk sementara, kami hanya berdua disini. Sanak saudara dari ayah sebagian tinggal di Aceh itu pun hanya beberapa karena sebagian lainnya telah tiada saat tsunami memporak-porandakan Aceh. Sementara sanak saudara ibu berada di Paris van Java yang saat ini terkenal dengan fashionnya.


Malam kedua begitu hening, tak ada cahaya dari energi listrik hanya ada sinar cahaya bulan yang lembut menyinariku. Terasa sangat hening malam itu, dingin pun menusuk sampai ke tulang. Beruntung ada selimut untuk menghangatkan tubuh mungil adikku yang baru beranjak dewasa. Sejak siang hari tadi, aku sama sekali tak mendengar suara adik selain suara isak tangisnya yang terdengar sesekali. Adikku mungkin merasa sangat terpukul dan bersalah.


***sehari sebelum gempa berlangsung***


Saat itu, aku baru saja pulang dari toko baju milik ibu yang aku kelola. Ibu mengingatkan adik agar menyiapkan seragamnya untuk hari kamis. Ibu memang sangat memanjakan aku dan adik, karena ia hanya memiliki dua orang anak yang benar-benar sama istimewanya. Aku laki-laki dan adikku perempuan. Tak dipungkiri kami masih sangat bergantung pada ibu. Hal-hal kecil seperti menyetrika baju pun dilakukan oleh ibu apabila kak Lusy, orang yang biasa membantu ibu melakukan pekerjaan rumah tangganya tak sempat menyetrika pakaian kami.


Dari kamarnya ibu berjalan menghampiri aku dan adikku yang saat itu sedang berebut remote tv. Dengan nada lembut sambil membelai rambut adik, ibu berkata “ Nadia.. kapan kamu mau menyetrika seragammu?? Coba sesekali belajar menyiapkan seragam sekolahmu.”


Entah kenapa hari itu kurasakan ibu sangat memaksa kami untuk melakukan segala halnya sendiri. Tapi adikku dengan gaya manjanya malah mencium ibu dan pada akhirnya ia sama sekali tidak mengerjakan apa yang dikatakan oleh ibu, dan ibu membiarkan adikku begitu saja hingga pada akhirnya, kemarin ketika pulang dari toko milik ibu, aku menemukan ibu sedang menyetrika seragam adikku beberapa menit sebelum gempa merenggut nyawa ibu.


Nadia bersandar di bahuku. Menyadarkanku dari lamunan panjangku. Ia memelukku, rasa cemasnya menyelimutiku. Aku merasakan ketakutannya yang sangat mendalam. Beda sekali dengan apa yang kurasakan dari beberapa hari yang lalu. Ia gadis dewasa yang usil dan kekanak-kanakan yang selalu menggangu waktu istirahatku dengan mengajakku bercanda. Yang kulihat saat ini, ia tak lebih dari seorang gadis kecil yang sangat membutuhkan belaian kasih sayang dari keluarganya yang tinggal satu-satunya, aku.


Aku mulai memikirkan banyak hal. Bagaimana aku harus membiayai hidupku dan adikku. Aku dan adikku tak mungkin menumpang hidup dengan adik atau kakak ibu atau ayahku. Saat ini yang kumiliki hanya adikku, tidak ada harta berharga untuk kami melanjutkan hidu. Beruntung aku masih memiliki adik. Walaupun rumah kami telah rata dengan tanah, setidaknya aku masih memiliki harta yang tak ternilai harganya, aku masih memiliki saudara. Hanya saja sebagai kakak aku mulai pusing. Bingung memikirkan masa depan adikku dan aku.


aku pun mulai ingat. Di saku bajuku ini, yang telah dua hari tidak kuganti masih tersimpan dompet dan handphone yang bisa kugunakan. Kubuka dompet milikku. Terlihat foto aku, adikku dan kedua orangtuaku. Kuperhatikan foto usang yang sudah bertahun-tahun itu. Aku telah kehilangan orangtuaku saat ini. Tapi Mereka hidup abadi di dalam hatiku. Tak sadar air mataku menetes. Aku mulai memeriksa dompetku, mencari-cari lembaran kertas berharga dengan nominal yang bisa membuat aku dan adikku menyambung hidupku.


*****


Saat** adikku tidak ada harta bee bergantung lagi pada ibuku...iku.alah ternyata aku hanya mimpi ditinggal pergi oleh ibuku karen itu terasa sangat panjang dan dingin. Entah mengapa aku merasakan sakit pada beberapa bagian tubuhku tapi ada yang aneh kurasakan. Aku merasakan ada belaian lembut pada rambutku. Selembut ketika ibu membelai rambutku ketika aku sedang beristirahat. Lalu bukan suara jangkrik yang kudengar melainkan suara tak asing, yang menemaniku saat menjaga ayah di rumah sakit sebelum akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya. Suara yang membuat suasana terasa tegang ketika aku, ibu dan adikku berharap bahwa ayah dapat bertahan hidup.


Tak lama terdengar suara berat, suara sesosok laki-laki paruh baya “ ibu tenang saja, anak ibu telah berhasil melewati masa kritisnya.” setelah kata-kata itu terucap, mendarat sebuah ciuman hangat yang menyadarkanku. Ciuman perempuan lembut yang sangat kuharapkan, ciuman dari ibuku. Aku terkejut dan ingin memperjelas penglihatanku tapi perempuan yang tampak seperti ibuku melarangku banyak bergerak, katanya aku masih belum boleh banyak bergerak.


Masih dengan kebingunganku, adikku datang dan menjelaskan bahwa aku terluka parah, terhimpit reruntuhan tembok ketika aku berusaha menyelamatkan ibuku. Ibuku juga mengatakan bahwa aku telah tak sadarkan diri beberapa hari ini dan selalu mengigau di malam harinya. Aku sudah tak perduli lagi dengan rasa sakitku, yang paling penting adalah ternyata aku hanya mimpi ditinggal pergi oleh ibuku karena pada kenyataanya ibuku ada disampingku saat ini. Mendampingiku. Dan aku berjanji akan lebih menjaga ibu dan adikku. Aku juga akan mandiri dan tak banyak bergantung lagi pada ibu.

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More