Berita Terkini

Berita Teknologi

Hiburan

Tuesday, September 21, 2010

Pers Etis

Kondisi Pers yang Etis

Sesuai dengan Pers nasional, sesuai dengan pasal 6 UU No. 40 1999, melaksanakan peranan berikut. 
 
  • Memenuhi hak masyarakat untuk memenuhi. 
  • Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supermasi hokum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan.
  • Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
  • Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
  • Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.





Peranan pers sangat bervariasi secara meluas di seluruh dunia. Pers sangat berperan penting bagi setiap Negara, karena pers sangat erat kaitannya dengan sistem politik di suatu Negara tersebut. Oleh sebab itu diberlakukanlah kebebasan pers. 

Kondisi Pers yang etis adalah Pers yang Bebas dan Bertanggung jawab sesuai Kode Etik Jurnalistik. 



Kode Etik Jurnalistik. 

Pasal 1 

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. 

Pasal 2 

Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. 

Pasal 3 

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. 

Pasal 4 

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. 

Pasal 5 


Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Pasal 6 

Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Pasal 7 

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan. 

Pasal 8 

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. 

Pasal 9 

Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. 

Pasal 10 

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. 

Pasal 11 

Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. 



Pers yang etis adalah pers yang memberikan informasi dan fakta yang benar dari berbagai sumber sehingga khalayak pembaca dapat menilai sendiri informasi tersebut. Selama ini banyak orang, terutama kaum awam, yang menduga, mengira atau menganggap (karena tidak tahu) bahwa pers adalah lembaga yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan masyarakat. Dalam anggapan seperti itu, seorang wartawan atau jurnalis hanyalah seorang buruh yang bekerja di perusahaan pers berdasarkan assignment atau penugasan redaksi. Tak ubahnya seorang tukang yang bekerja sekedar untuk mencari sesuap nasi, tanpa rasa tanggung jawab moral terhadap profesi dan masyarakat. Pastilah ia tidak mengerti hakikat kebebasan pers, atau bahkan mengira bahwa kebebasan pers merupakan “hak kebebasan bagi pers dan wartawan.” 

Padahal, media pers (cetak, radio, televisi, online, selanjutnya disebut media atau pers) sesungguhnya merupakan kepanjangan tangan dari hak-hak sipil publik, masyarakat umum, atau dalam bahasa politik disebut rakyat. Dalam sebuah negara yang demokratis, di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, publik punya hak kontrol terhadap kekuasaan agar tidak terjadi penyalah gunaan kekuasaan. Hal itu sebagaimana adagium dalam dunia politik yang sangat terkenal, yang diangkat dari kata-kata Lord Acton, sejarawan Inggris (1834 – 1902), “The power tends to corrupt, the absolute power tends to absolute corrupt” (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang mutlak cenderung korup secara mutlak). Sebagai konsekwensi dari hak kontrol tersebut, segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik, rakyat) harus dapat diakses (diinformasikan, diketahui) secara terbuka dan bebas oleh publik, dalam hal ini pers. 

Dalam kondisi seperti itulah dibutuhkan pers yang secara bebas dapat mewakili publik untuk mengakses informasi. Dari sinilah bermula apa yang disebut “pers bebas” (free press) atau “kebebasan pers” (freedom of the press) sebagai syarat mutlak bagi sebuah negara yang demokratis dan terbuka. Begitu pentingnya freedom of the press tersebut, sehingga Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat (1743 – 1826), pada tahun 1802 menulis, “Seandainya saya diminta memutuskan antara pemerintah tanpa pers, atau pers tanpa pemerintah, maka tanpa ragu sedikit pun saya akan memilih yang kedua.” Padahal, selama memerintah ia tak jarang mendapat perlakuan buruk dari pers AS. Mengapa kebebasan pers sangat penting dalam sebuah negara demokratis? Sebab, kebebasan pers sesungguhnya merupakan sarana bagi publik untuk menerapkan hak-hak sipil sebagai bagian dari hak asasi manusia. Salah satu hak sipil itu ialah hak untuk mengetahui (the right to know) sebagai implementasi dari dua hak yang lain, yaitu kebebasan untuk berbicara atau berpendapat (freedom to speech) dan kebebasan untuk berekspresi (freedom to expression). Dengan demikian, kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers (sekali lagi: kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers), melainkan kepentingan publik. Namun, karena publik tidak mungkin mengakses informasi secara langsung, maka diperlukanlah pers sebagai “kepanjangan tangan” atau “penyambung lidah.” 

Untuk pertama kalinya dalam sejarah pers Indonesia, kebebasan pers baru diakui secara konstitusional setelah 54 tahun Indonesia merdeka secara politik, yaitu dalam UU Nomor 40/1999 tentang Pers. Meskipun demikian, pengertian kebebasan pers belum dimengerti secara merata oleh publik Indonesia. Bahkan para pejabat dan kalangan pers sendiri pun, yang mestinya lebih mengerti, ternyata masih ada yang kurang paham mengenai makna dan pengertrian kebebasan pers yang sesungguhnya. 

Oleh karena mengemban tugas luhur dan mulia itulah, pers yang bebas juga harus memiliki tanggung jawab, yang dirumuskan dalam naskah Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia sebagai “bebas dan bertanggung jawab.” Belakangan, pengertian “bebas” menjadi kabur, terutama di zaman pemerintahan Presiden Soeharto, gara-gara sikap pemerintah yang sangat represif, sementara pengertian “bertanggung jawab” dimaknai sebagai “bertanggung jawab kepada pemerintah.” Padahal, yang dimaksud dengan bebas ialah bebas dalam mengakses informasi yang terbuka, Sementara yang dimaksud dengan bertanggung jawab disini ialah bertangung jawab kepada publik, kebenaran, hokum, common sense, dan akal pikiran. 

Pers Indonesia lahir dari kancah pergerakan nasional untuk membebaskan rakyat dari penjajajahan. Ketika itulah pers bahu membahu dengan kaum pergerakan, bahkan mengambil peran penting dalam perjuangan politik. Pers pada periode itu disebut “pers perjuangan”. Ketika negeri ini memasuki era “demokrasi liberal” di tahun 1950-an, pers sebagai cerminan aspirasi masyarakat, tampil sebagai pers bebas. Ketika Presiden Soekarno mendekritkan “demokrasi terpimpin” (1962) pers Indonesia ikut pula terpimpin. Ketika Presiden Soeharto memperkenalkan “demokrasi pancasila” (1970), yang hakikatnya sami mawon dengan “demokrasi terpimpin”, pers Indonesia kembali terkekang. Barulah di era reformasi (1989) pers Indonesia benar-benar bebas. 


Hakikat Kebebasan Pers 

Kebebasan pers harus selalu diartikan sebagai kebebasan untuk mempunyai dan mengemukakan pendapat melalui pers (Nangtjik, 1986). Ini perlu ditegaskan terlebih dahulu karena pengertian kebebasan pers diberbagai Negara memiliki berbagai arti. Dalam analisis kebebasan social, biasanya diadakan pengendalian berdasarkan nilai “positif” dan “negative”, perdebatan mana tidak akan berakhir karena nilai erat hubungannnya dengan budaya dan tingkat pendidikan, serta latar belakang keluarga. Karena itulah, sebaiknya nilai kebebasan dilihat dari segi : bebas untuk apa dan bebas dari apa (Susanto-Sunario, 1993). 

Konflik sosial, sesungguhnya semata-mata merupakan ‘buah’ dari penyakit kronis yang diidap masyarakat yang selama 32 tahun terinjak hak-haknya. Yang tumbuh hanyalah apatisme, sementara nalar kritis terpasung secara perlahan-lahan. Sebagian besar pelajar, mahasiswa dan pemuda yang kini berusia 25 sampai 30 tahun. yang secara kodrati progresif dan memiliki daya nalar kritis, merupakan korban represi tersebut. Dan merekalah pula yang kini tampil sebagai pelopor pendobrakan untuk membuka kran reformasi. Tapi, dengan atau tanpa pers bebas, mereka niscaya akan bangkit membebaskan diri. Bahkan sebagian besar pers terkesan konservatif, takut, tidak kritis, satu dan lain hal karena ingin ‘menjaga harmoni’ dengan kekuasaan. 

Dan kini dengan gampang dan enak orang bicara tentang demokrasi, kebebasan, transparansi, dan semacamnya, tanpa mengerti apa yang mereka omongkan. Padahal, prasyarat demokrasi ialah multipartai dan pers yang bebas. Tapi, begitu sejumlah partai lahir dan pers tampil bebas, orang bingung. Dengan multipartai dan pers yang bebas, persoalan-persoalan negara dan masyarakat bisa diselesaikan secara publik, terbuka, tidak lagi diselesaikan di bawah tekanan kekuasaan negara.Pers bebas merupakan salah satu alat pendidikan (dan pendewasaan) sikap dan perilaku berpolitik. Kita memang tengah belajar berdemokrasi, hidup bersama orang lain yang sikap dan pendapatnya berbeda, belajar toleran dalam sebuah masyarakat yang multikultur, tapi hal itu tidak dengan sendirinya lantas menolak demokrasi. Tingkat pendidikan dan kecerdasan masyarakat memang relatif masih rendah. Tapi, hal itu tidak otomatis lantas menjadi alasan menolak pers bebas. Sebab, percayalah, rakyat yang tingkat pendidikan dan kecerdasannya rendah sekalipun, bukanlah orang-orang bodoh. Mereka cukup kritis, apalagi jika kita percaya bahwa hati nurani dan akal sehat (common sense), merupakan hal yang seharusnya kita perhitungkan. Pers yang bebas menyajikan sejumlah pilihan, dan publik bebas pula menentukan pilihan mereka. Sementara pers yang tidak memperjuangkan kepentingan publik, menjadi pers partisan atau sensasional misalnya, lambat-laun akan ditinggalkan oleh pembacanya.Apakah pers kita saat ini sudah kebablasen? Menurut saya, belum. Toh selama ini belum (tidak) ada kriteria tentang apa yang disebut kebablasen itu. Kalaupun pers kita saat kini sudah kebablasen (dengan kriteria yang tak jelas), hal itu bukan pula bisa menjadi alasan untuk membatasi kebebasan pers. Kalaupun ada yang kebablasen (sekali lagi dengan kriteria yang tak jelas) hal itu bukanlah merupakan main stream. Mungkin ada beberapa tabloid yang bisa dikategorikan sebagai yellow paper, dan itu sah-sah saja, tapi secara keseluruhan pers kita cukup baik dan dewasa. Besar dugaan, pejabat atau politisi yang menuding pers kita kebablasen itu tiada lain karena belum terbiasa dengan pers bebas, setelah 32 tahun tanpa absen kebagian jatah cekokan resep Orde Baru. 

Dalam konteks pers bebas, seringkali orang berasumsi bahwa pengertian ‘bebas’ seolah-olah bebas sebebas-bebasnya. Padahal, dengan singkat bisa dijelaskan, bahwa di dalam kebebasan itu sendiri secara implisit ada rasa tanggung-jawab. Tak perlu disebutkan ‘pers yang bebas dan bertanggung-jawab’, sebab dalam pengertian ‘bebas’ sudah terkandung rasa ‘tanggung-jawab’. Cuma yang jadi masalah bertanggung-jawab kepada siapa? Yang pasti bukan kepada penguasa, melainkan kepada nilai-nilai: kebenaran, keadilan, hukum, moral, kepentingan umum. 

Bagaimana dengan si wartawan? Mereka tak cukup hanya belajar jurnalistik hingga mampu trampil dan lihai mewawancarai, memotret, melakukan investigative reporting, dan menulis dengan bahasa dan gaya yang memikat. Tapi, mereka juga harus independen, memiliki dedikasi dengan integritas tinggi, termasuk keberanian untuk menolak amplop, belajar menimbang dan mengukur tulisan dengan nilai dan moral, dan memiliki idealisme untuk membela kepentingan publik 


Kebebasan Pers di Indonesia 



a) Zaman Kolonial 

Kontrol terhadap pers ternyata sudah berumur dua setengah abad. Benarkah aturan mainnya lebih galak di zaman kolonial ketimbang di zaman merdeka? Pers sebagai komoditi industri menghadapi tantangan baru. Menyedihkan, ternyata Indonesia tak bisa dipisahkan dari tindakan kontrol terhadap pers, apa pun penafsiran orang terhadap pengertian kemerdekaan atau kebebasan pers. Bukan bermaksud mendramatisasikan, bila disebut bahwa sudah lebih dari dua setengah abad kehidupan pers di Indonesia mengalami kontrol, baik berupa sensur, atau pun breidel. Akankan pers kita akan lebih berfungsi menyuarakan suara masyarakat, atau akan tetap dibelenggu berbagai aturan? 

Pada tahun 1712 perhimpunan dagang belanda atau VOC menerbitkan Memorie de Nouvelles di Batavia, Hindia Belanda, berisi berita perniagaan yang dikutip dari koran-koran di Negeri Belanda. Tapi pada tahun itu juga, lembaran bertulis tangan itu dilarang beredar karena dikhawatirkan akan jatuh ke tangan para pesaing VOC. ''Tekanan terhadap pers telah memberikan ciri kepada Indonesia selama ada pers di kepulauan ini,'' simpul Edward C. Smith dalam bukunya, Pembreidelan Pers di Indonesia. 

Sejak itu, sampai satu setengah abad kemudian, kontrol terhadap pers di Hindia Belanda berlangsung terus, meskipun belum ada peraturan yang pasti. Sensor itu ditentang keras oleh redaksi majalah bulanan Tijdschrijft voor Nederlandsch-Indie, yang sering memuat berita-berita politik. Tetapi di lain pihak, Semarangsch Advertentieblad, sebuah harian yang sebenarnya tidak berbahaya karena hanya memuat iklan, setiap kali terbit harus mendapat izin pemerintah Kerajaan di Belanda. 

Kontrol pers di Hindia Belanda itu sempat diperdebatkan dalam parlemen Belanda (1854). Kaum liberal bersikeras mencantumkan pasal kebebasan pers dalam peraturan pemerintah, sebaliknya kaum konservatif mempertahankan pembatasan, agar pers tidak digunakan oleh kaum oposisi untuk menentang pemerintah. Tapi yang menang kaum konservatif. Dua tahun kemudian, 1856, lahirlah Drukpersreglement alias Undang-undang Pers, yang mewajibkan penerbit menyerahkan salinan artikel kepada pemerintah sebelum menerbitkannya. Penting dicatat, perdebatan tentang kebebasan pers di parlemen ini semata untuk Hindia 
Belanda. Sementara itu, pers di Belanda sendiri, dijamin kebebasannya. Bisa disimpulkan, pembatasan kebebasan pers hanya cocok untuk tanah koloni, dan itu disengaja untuk mempertahankan penjajahan. Undang-undang Pers 1856 itu memang pernah diperbaharui (1906), tetapi hasilnya bukan lebih menguntungkan bagi kaum jurnalis. Menurut sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo dalam brosur Beberapa Segi Sejarah Pers Indonesia, bila yang pertama bersifat preventif, yang kedua berupa pengawasan represif. Belakangan, pemerintah kolonial menetapkan UU Pembreidelan Pers, alias Persbreidel Ordonantie (1931). UU Pembreidelan Pers itu memang dipasang untuk membungkam kaum jurnalis yang sejak 1920, bersama-sama kaum pergerakan rakyat, mengobarkan nasionalisme. Upaya penindasan itu menjadi lengkap karena adanya ''pasal-pasal karet'', yang dapat ditafsirkan sesuai dengan kepentingan penguasa kolonial dalam KUHP. Pasal itu dikenal sebagai haatzaai artikelen, yang dikenakan sebagai ancaman terhadap orang yang dituduh ''menyebarkan kebencian'', yang sampai kini, lebih dari setengah abad kemudian, masih berlaku. 

Di masa pendudukan Jepang ada beberapa koran dan majalah yang terbit, tetapi dalam pengawasan ketat sebab memang diterbitkan oleh pemerintah pendudukan Balatentara Dai Nippon. Ada Jawa Shimbun, Sumatera Shimbun, Borneo Shimbun, Celebes Shimbun, Ceram Shimbun. Juga ada Asia Raya (Jakarta), Tjahaja (Bandung), Sinar Baru (Semarang), Sinar Matahari (Yogyakarta), Suara Asia (Surabaya). Tapi semuanya hanya memuat berita mengenai perkembangan perang dan pemerintahan militer Jepang. 


b) Zaman Demokrasi Terpimpin 

Setelah merdeka, 17 Agustus 1945, adakah pers juga merdeka? Boleh dikata, dalam ''seratus hari pertama'' bebas merdeka itu kerjasama antara pers dan pemerintah, yang sama-sama republikein, sangat erat dan mesra. Para pejabat menyatakan bahwa kemerdekaan pers merupakan hal yang mutlak, sebagai dasar bagi proses demokratisasi. Tapi begitu pemerintah harus mempertahankan kedudukan, sementara pers menjalankan fungsi yang sebenarnya, ''bulan madu'' pun berakhir. 

Sudah banyak diketahui beberapa kasus pers yang terjadi di zaman ''liberal'' di tahun 1950-an, atau di zaman Demokrasi Terpimpin di tahun 1960-an. Baik oleh pemerintah sipil maupun oleh kalangan militer: sensor, penangkapan wartawan, pembreidelan. Tumbangnya Orde Lama, dan lahirnya Orde Baru, yang bertekad ''melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen'' . Pada mulanya memang menyiratkan secercah ''cahaya harapan'' akan kebebasan pers. Akan tetapi kenyataannya tidak sepenuhnya demikian. 

Di awal Orde Baru, beberapa suratkabar yang di zaman Orde Lama dibreidel bisa terbit kembali, seperti Abadi, Indonesia Raya, Pedoman, Nusantara. Tapi hal itu itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa pemerintah Orde Baru meyakini pentingnya kemerdekaan pers. Belakangan, sebagai akibat ''Peristiwa Malari'' (1974), sejumlah koran dibreidel lagi. Begitu pula dalam ''Peristiwa Banteng'' (1978) ketika kampanye Golkar mendapat ganggguan yang dramatis. Belakangan kesan pembreidelan itu seakan-akan ''menghilang''. ITU tidak berarti kontrol terhadap pers juga lenyap. Di tahun-tahun 1980-an, pemerintah Orde Baru rupanya pandai menggunakan eufemisme. Tidak ada kenaikan harga, yang ada ''penyesuaian''. Tidak ada banjir, yang ada ''genangan setempat''. Tidak ada kontrol, sensor, apalagi breidel, yang ada ''himbauan'', ''budaya telepon'', ''peringatan lisan'' dan ''peringatan tertulis''. Tidak ada lagi SIT (surat izin terbit) dan SIC (surat izin cetak), tapi peraturan penggantinya ternyata jauh lebih represif. 

Peraturan itu tiada lain ialah SIUPP (surat izin usaha penerbitan pers), yang mulai berlaku sejak 1982. Ada kesan, penggantian SIT dengan SIUPP identik dengan penggantian UU Pers 1856 (yang bersifat preventif) dengan UU Pers 1906 (yang lebih represif). Bila SIT dan SIC dicabut hanya mengakibatkan media massanya yang dibreidel, badan penerbitnya masih bisa jalan; tapi dalam hal SIUPP dicabut, bukan saja media massanya tidak bisa terbit, badan usaha penerbitannya pun hancur berantakan. 

Di awal Orde Baru, UU Pokok Pers (1966) memang menyebutkan ''tidak ada sensor dalam pers nasional'', dan bahwa ''kebebasan pers dijamin berdasarkan hak asasi warganegara''. Sementara itu izin penerbitan tidak diperlukan. Tapi di sana juga disebutkan bahwa dalam masa transisi, periode sebelum pemilu 1971 masih ada SIT dari Departemen Penerangan dan SIC dari Kopkamtib. Kontrol terhadap pers semakin lengkap ketika SIT dan SIC diganti dengan SIUPP (1982). Dan sejak itu media massa bersikap akomodatif. 

Di saat seperti itu, seperti dikutip oleh pengamat pers Australia, David T. Hill. Seorang tokoh pers Indonesia menyatakan, kurang lebih, jika ingin tetap bisa bertahan hidup, pers Indonesia sebaiknya bersikap kurang kritis. Sikap ''tahu diri'' atau bahkan ''menyensor diri sendiri''. Agar tetap bisa bertahan hidup, menjadi semacam budaya di kalangan para penerbit dan wartawan. Dan bersamaan dengan itu, pers berkembang sebagai industri dengan minat keras melakukan ekspansi komersial. 

c) Zaman Reformasi 

Perjalanan demokrasi di Indonesia masih dalam proses untuk mencapai suatu kesempurnan. Wajar apabila dalam pelaksaannya masih terdapat ketimpangan untuk kepentingan penguasa semata. Penguasa hanya mementingkan kekuasaan semata, tanpa memikirkan kebebasan rakyat untuk menentukan sikapnya. Sebenarnya demokrasi sudah muncul pada zaman pemerintahan presiden Soekarno yang dinamakan model Demokrasi Terpimpin, lalu berikutnya di zaman pemerintahan Soeharto model demokrasi yang dijalankan adalah model Demokrasi Pancasila. Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang demokratis, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik warganya. 


Begitu pula kebebasan pers di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers 


Bagi Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846, yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan. Sebagai contoh adanya pembatasan terhadap pers dengan adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h. Dengan definisi ”pers yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan. 

Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter yang di kembangkan pada rezim orde baru. Tak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum dan Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu ada keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD 45 Pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat. Suatu pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara. Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan tersebut. Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia. 

Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan. Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain, biarlah hal ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka yakini. Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari. Ide tentang kebebasan pers yang kemudian menjadi sebuah akidah pelaku industri pers di Indonesia. Ada dua pandangan besar mengenai kebebasan pers ini. Satu sisi, yaitu berlandaskan pada pandangan naturalistik atau libertarian, dan pandangan teori tanggung jawab sosial. Menurut pandangan libertarian, semenjak lahir manusia memiliki hak-hak alamiah yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh pemerintahan. Dengan asumsi seperti ini, teori libertarian menganggap sensor sebagai kejahatan. Hal ini dilandaskan pada tiga argumen. Pertama, sensor melanggar hak alamiah manusia untuk berekspresi secara bebas. Kedua, sensor memungkinkan tiran mengukuhkan kekuasaannya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak. Ketiga, sensor menghalangi upaya pencarian kebenaran. Untuk menemukan kebenaran, manusia membutuhkan akses terhadap informasi dan gagasan, bukan hanya yang disodorkan kepadanya. Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press). Di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat. 

Analisis Saya : Kebebasan pers sangat penting karena dengan kebebasan itu pers lebih dapat menjalan kan tugasnya untuk meliput segala peristiwa yang ada di Negara kita tanpa harus melanggar privasi,saya setuju dengan masyarakat yang meminta ada nya reformasi di Negara kita. Dengan reformasi pers di beri kewenangan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara Negara dan harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan publik terhadap pemimpinnya dapat terwujud.

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More