Berita Terkini

Berita Teknologi

Hiburan

Tuesday, September 21, 2010

Andrea Hirata


“INDAHNYA BERMIMPI”

Berbeda dengan Laskar Pelangi yang membuat saya menjadi bodoh, Sang Pemimpi sudah mampu membuat saya menjadi manusia rata-rata. Saya tidak bodoh dan tidak pintar dan keadaan itu cukuplah untuk membantu saya menikmati cerita dalam Sang Pemimpi dengan lebih baik. Cerita yang disuguhkan dalam Sang Pemimpi sangat manusiawi dan saya kira banyak contohnya yang terjadi di dunia nyata. Saya kira Andrea Hirata mampu menyampaikan dengan sempurna pesan bagi pembacanya untuk berani bermimpi.

Sudah banyak orang yang menyampaikan bahwa pencapaian-pencapaian luar biasa yang berhasil dicatatkan oleh umat manusia berasal dari mimpi yang dibuat. Tentu kita harus memandang mimpi di sini sebagai cita-cita. Bukan mimpi yang menjadi bunga tidur kita. Andrea Hirata menyampaikan pesan untuk berani bermimpi itu dengan kemampuan bertuturnya yang apik dan dengan contoh yang sangat menggugah. Tokoh Arai yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil justru menjadi tokoh yang mengajarkan kepada Ikal untuk terus bermimpi. Sungguh sangat membangkitkan semangat ketika Arai menasehati Ikal ketika Ikal melorot drastis rankingnya.

“Biar kau tahu, Kal, orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi, dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu!!” (Satu catatan saya pada kalimat itu adalah penggunaan kau dan bukan Kau. Sepanjang yang saya ingat dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, kata sapaan itu ditulis dengan huruf kapital pada huruf pertamanya. Apa sudah berubah kaidah itu? Dan saat laskar pelangi telah membuka lembarannya dihadapank. Aku termanggung Laskar pelangi lebih mirip jurnal ilmiah, biologi lebih tepatnya. Banyak kata-kata yang rumit, istilah biologi. Aku heran kenapa Pak Andrea selalu memakai nama latin untuk pepohonan dan tumbuhan merambat. Namun, aku tak memperdulikannya seolah ada sesuatu yang menghangatkan hatiku saat membaca Laskar Pelangi. Aku terus berpacu, mencoba menemukan Lintang. Dan aku terharu….meremangkan bulu romaku…membangkitkan aliran darahku yang semula tenang…menuntutku untuk cepat beraksi. Yah…segera menyelesaikan kuliahku. Laskar pelangi membuatku bersemangat, menyadari seberapa cepat waktu berlalu dan kita terkadang tak pernah ada kesempatan untuk mengulang ‘moment‘.

Aku terbiasa untuk menghabiskan novel dalam satu waktu, tidak terputus-putus. Tapi tidak dengan Laskar Pelangi dan kroni-kroninya. Pada saat yang sama, aku dituntut untuk menyelasaikan Laporan Akhirku yang Subhanaallah banyaknya “Laskar Pelangi” mengingatkanku akan sebuah Prioritas, dan aku memilih prioritas itu. Dengan mengisi amunisiku membarakan semangatku..menyalurkan energi ke sekeliling. Aku terharu dengan Lintang, Mahar, A kiong, Sahara, Flo, Ikal, Syahdan, Kucai, Samson, Harun dan Trapani. Mereka menjalani hidup dengan pilihan mereka sendiri. Masa-masa menyenangkan yang membentuk karakter mereka, mengokohkan keyakinan mereka. Dan kemudian aku ingin sekali membaca yang ke-empat. Hm…Rasanya agak berlebihan untuk membeli yang ke-2 atau yang ke-3..pikirku saat itu. Ternyata yang keempat justru belum terbit. Akhirnya aku tergelitik untuk membeli yang ke-2 dan ke-3.

Sang pemimpi…membangkitkan mimpi-mimpi lamaku yang telah kupendam dengan berbagai realitas yang ada. Ternyata benar…Terkadang realitas adalah racun bagi sebuah optimisme..(dikutip dari Sang Pemimpi). Aku merasa perlu membangkitkan kembali mimpi-mimpi itu. Menjadikannya bahan bakar yang siap meluncurkan roketku ke angkasa raya… Tak ada yang tak mungkin di dunia ini…Aku punya kartu “mantap” untuk itu…Aku punya Sang Tempat ku berHarap….dan aku yakin Ia akan mengabulkannya. Aku hanya perlu dua hal…dua hal saja, my dear….Berusaha sekeras yang aku bisa…sampai aku bahkan tak sanggup lagi….dan doa..doa yang akan meng-ijabah semua permohonananku…Kekuatan sebuah doa adalah “MIRACLE” yang takkan pernah diketahui setiap orang….

Karya pertama dan kedua Andrea bagi saya bukan sepenuhnya Dwilogi. Alasannya simpel saja. Ikal yang ada pada karya pertama bukanlah Ikal yang ada pada tokoh kedua. Ikal dalam karya pertama hanya seorang tokoh yang keberadaannya tidak terlalu penting. Ada tiadanya Ikal takkan mengganggu isi cerita. Mungkin alasan tersebut bisa dipatahkan dengan argumen seperti ini. “Jika tidak ada ikal, tidak akan ada sang juru cerita yang akan mengantarkan sejarah laskar pelangi dalam sebuah memoar.” Benar. Hanya saja sang juru cerita bisa diganti orang lain. Namun masalah yang kemudian muncul adalah karena ini memoar, sebuah kisah nyata. Jadi, Ikal tetap saja Ikal yang keberadaannya tidak bisa digantikan orang lain. Mungkin diantara kesebelas orang itu yang punya inisiatif atau obsesi menulis hanyalah seorang Ikal (Andrea Hirata Seman).

Alasan lain. Ikal dalam novel pertama tidak digambarkan berkarakteristik kuat sebagai tokoh yang menjual. Sebenarnya siapa tokoh yang ingin dimemoarkan? Tentu Ikal. Kenapa orang yang seharusnya menjadi tokoh utama seolah-olah tidak tampak. Ia tidak meresap di hati pembaca. Dalam novel itu, Ikal hanya seorang bocah yang memunyai sepuluh orang teman yang aneh-aneh. Ia seorang tokoh yang kurang mendapat simpati pembaca. Bukankah tokoh utama biasanya merebut hati pembaca? Kemudian wajar jika pembaca Laskar Pelangi lebih mempertanyakan kondisi Lintang saat ini, atau Mahar barangkali daripada Ikal. Bukan karena keberadaan Ikal yang memang sudah diketahui. Tapi karena Lintang dan Mahar digambarkan lebih hidup daripada yang lain. Selanjutnya, dalam sang Pemimpi, tiba-tiba Ikal ada secara penuh. Hanya dia satu-satunya tokoh dalam laskar pelangi yang diADAkan kembali. “Siapa Ikal yang berani-beraninya muncul di karya Andrea yang kedua?”. Dialah tokoh utama itu. Tanpa Ikal, sang Andrea sendiri, takkan ada Laskar Pelangi, sang Pemimpi, kemudian Edensor, dan Maryamah Karpov.

Dalam karya keduanya, Andrea memunculkan karakteristik tokoh Ikal yang harus dilihat. Ikal orang yang pandai, pekerja keras, dan sedikit nakal karena keremajaannya. Ia bukan lagi orang yang ikut ke sana ke mari tidak jelas seperti yang ada dalam Laskar Pelangi. Ialah tokoh sebenarnya tokoh. Karya kedua Andrea memang berbeda. Awalnya saya menganggap bahwa Andrea dan Laskar Pelanginya tak lebih hanya mendapat durian runtuh. Jika tidak punya Lintang, Mahar, dan sekolah mengenaskan yang bersanding dengan lingkungan elit PN Timah, ia tidak bakal seberuntung sekarang. Ia punya modal awal cerita yang menarik. Di samping itu, ia juga tiba-tiba muncul saat masyarakat mulai bosan dengan keberadaan chikleet tenleet. Saya menyukai Laskar Pelangi karena substansi ceritanya yang menyentuh sisi kemanusiaan. Sebuah kehidupan yang serasa tidak nyata. Saya tidak melihat ada kelebihan lain dalam novel tersebut kecuali ceritanya itu sendiri. Namun setelah membaca sang pemimpi, saya mulai berpikir ulang. Saya sadar ada kepiawaian di sana. Jika tidak ditulis oleh jari yang lentur, pikiran seorang yang imajinatif; cerita Ikal, Arai dan Jimbron, hanya akan berakhir pada keranjang sampah. Namun, Andrea membuktikan itu. Cerita yang biasa bakal jadi luar biasa bila diramu dengan baik. Mungkin begitu juga dalam laskar pelangi.



Andrea dan budayanya

Ada pujian yang berlebihan pada Andrea. Ia bukan dari lingkungan sastra namun dapat membuat novel best seller. Tak hanya karya pertamanya, namun juga karya yang kedua. Berbicara mengenai best seller, banyak novelis muda Indonesia yang bukan dari lingkungan sastra tapi karyanya terjual laris manis. Sebaliknya, tidak mudah menemukan karya yang dibuat oleh kalangan sastra yang dapat diterima masyarakat luas. Best seller tidaknya karya tidak hanya ditentukan hanya dari novelnya itu sendiri. Banyak kalangan yang berjasa. Di sini bisnis pun bermain. Dengan sedikit taktik karya bisa menjadi fenomenal. Misalnya saja dengan promosi besar-besar di media, launching dengan mengundang artis, atau bisa juga mencari komentator untuk ombustment. Sedangkan dalam novel Andrea, saya lihat murni dari karya. Kelihaian bercerita menjadi kunci kesuksesannya. Kelihaian itu tak serta merta turun dari langit. Lingkungan dan budayanya sangat berpengaruh. Ia orang Belitong, berdarah Melayu. Coba tengok ke belakang. Masyarakat tentu tidak awam dengan sastrawan Melayu seperti HAMKA, Marah Roesli, Muchtar Loebis, Iwan Simatupang dll. Jadi wajar jika Andrea pun seperti itu. Orang melayu terkenal pintar bercerita. “Pendidikan di Sumatra itu sangat berbeda dengan di Jawa. Guru di sana seperti seorang teman. Dia hanya bertugas memfasilitasi. Orang Sumatra yang sukses itu bisa sangat sukses Karena cara mendidiknya tadi. Contohnya saja Andrea,” kata Aulia Muhammad dalam diskusi “Membaca Geliat penyair muda” di Fakultas Sastra Undip. Ia seorang pemred suaramerdeka.com yang juga bergelut dalam dunia sastra. Sebagai seorang yang lahir di Sumatra, tentu ia tahu bagaimana sistem pendidikan di sana. Dalam Laskar pelangi maupun sang Pemimpi sebenarnya juga bisa terlihat jelas bagaimana pendidikan di sana. Tak jauh beda dengan yang dikatakan Aulia. Dalam novel Sang Pemimpi, Andrea menjelaskan bagaimana cintanya ia dengan sastra. Itu tak lain karena gurunya. Sang guru mengajarkan sastra sekaligus menghipnotisnya untuk mencintai bidang itu. Ia membuat pelajaran itu penuh dengan kepesonaan. Tak hanya teori yang diajarkan tapi ia membebaskan sang murid pada imajinasi-imajinasinya sendiri. Jadi, benarkah Andrea Hirata Seman benar-benar awam dalam dunia sastra?

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More